Ketika Kita Sibuk Membela Label, Lalu Lupa Menjadi Muslim Seutuhnya



Media dakwah hari ini berkembang pesat. Di satu sisi, kita bersyukur: banyak orang semangat belajar Islam, mengenal sunnah, dan membentuk komunitas hijrah. Namun di sisi lain, ada fenomena yang patut kita waspadai: semangat berislam yang terjebak pada pembelaan kelompok dan lambang identitas. Kita bangga menjadi bagian dari “mazhab A”, “gerakan B”, atau “komunitas C”. Tapi di balik semua itu, kadang kita lupa satu hal yang paling esensial—bahwa sebelum semua label itu, kita adalah Muslim. Titik.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Ali ‘Imran: 103)

Sectaphobia : Ketika Perbedaan yang Sah Justru Dicurigai

Tak sedikit dari kita mengalami Sectaphobia—ketakutan berlebihan terhadap perbedaan antar kelompok Islam. Begitu melihat orang berislam dengan cara atau istilah yang berbeda, langsung muncul label: “menyimpang”, “tidak lurus”, bahkan “sesat”. Padahal selama perbedaan itu masih dalam bingkai syariat dan ilmu, Islam memfasilitasi keragaman sebagai bentuk rahmat. Rasulullah ﷺ bersabda :

إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Jika keliru, maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka tugas kita bukan saling mengadili, tapi saling memahami. Bukan mempersempit ruang belajar, tapi memperluas lapangan ukhuwah.

Berbeda Itu Wajar, Asal Tak Menyimpang

Namun kita juga perlu waspada: tidak semua bentuk pemikiran bisa dibenarkan sebagai “keragaman”. Islam jelas memiliki standar: wahyu adalah fondasi, bukan opini bebas. Pemikiran yang melampaui batas—seperti meragukan Al-Qur’an, menggugat halal-haram yang sudah qath’i, atau menyamakan semua agama secara teologis—itu bukan bentuk ijtihad, tapi penyimpangan.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

"Dan tidak patut bagi seorang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, ia merasa punya pilihan lain dalam urusan itu." (QS. Al-Ahzab: 36)

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini (Islam), maka itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi, penting untuk bersikap terbuka dalam hal khilafiyah, tapi tetap tegas terhadap apa yang menyimpang dari prinsip.

Islam Butuh Pribadi Beradab, Bukan Hanya Berilmu

Tokoh-tokoh Islam terdahulu bukan hanya cerdas, tapi juga beradab. Imam Syafi’i pernah berkata :

“Pendapatku benar, namun kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah, namun kemungkinan benar.”

Inilah ruh ilmu sejati. Sikap terbuka, rendah hati, dan tetap menjunjung ukhuwah. Islam tak tumbuh dengan fanatisme, tapi dengan keberanian berpikir dan kelembutan dalam berdakwah.

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam semua urusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menjadi Muslim Seutuhnya

Kita sering merasa sedang membela Islam, tapi sebenarnya yang kita bela hanyalah ego kelompok. Kita bicara kebenaran, namun dengan nada tinggi dan lisan yang melukai. Kita merasa paling peduli terhadap agama, padahal kadang yang kita lindungi hanya zona nyaman ideologis. Islam tidak mengukur seberapa keras kita berbicara, tapi seberapa lembut kita menuntun.

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang Muslim adalah yang membuat Muslim lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menjadi Muslim seutuhnya artinya menghadirkan Islam dalam akhlak, dalam sikap, dan dalam kontribusi. Islam tidak hanya butuh pembelaan di ruang debat, tapi butuh penerus yang membangun dengan cahaya ilmu dan adab.

Kita pernah punya Al-Khawarizmi, yang memformulasikan matematika sebagai alat kemajuan. Ibnu Sina, yang mengajarkan bahwa ilmu kedokteran harus merawat jasad dan jiwa. Al-Zahrawi, yang menjadikan praktik bedah sebagai warisan ilmiah, bukan sekadar keterampilan. Harun Al-Rasyid, yang memimpin Baghdad menjadi pusat ilmu dan keadilan.

Imam Al-Ghazali menyatukan logika dan iman dalam satu jalan pemikiran yang agung. Salahuddin Al-Ayyubi menaklukkan dengan kehormatan, bukan kebencian. Fatimah Al-Fihriyah membangun universitas untuk ilmu, bukan demi nama. Al-Biruni mengukur bumi dan bintang dengan ketelitian menakjubkan. Ibnul Haytham mengurai cahaya dan penglihatan dengan pendekatan eksperimen. Ibn Rushd menjembatani filsafat dan syariat tanpa kehilangan iman.

Mereka tak hanya menjadi Muslim yang taat, tapi Muslim yang berkarya. Mereka bukan sekadar membicarakan perubahan, mereka menjadi perubahan itu sendiri.

كُنْ أَنْتَ التَّغْيِيرَ الَّذِي تَتَمَنَّاهُ لِلْأُمَّةِ

“Jadilah perubahan yang kamu harapkan bagi umat.”

Menjadi Muslim seutuhnya adalah kembali menjadi cahaya. Cahaya yang menuntun di tengah keraguan, bukan menyulut api perpecahan. Bukan untuk menjadi paling benar, tapi menjadi yang paling bermanfaat. Itulah Islam yang hidup, bukan sekadar dikutip—tapi dirasakan.